-
Makalah Bangsa Dan Negara
Sejarah timbulnya bangsa-bangsa didunia berawal dari benua Eropa. Pada akhir abad XIX, di benua Eropa timbul berbagai gerakan kebangsaan. Gerakan tersebut mengakibatkan kerajaan-kerajaan besar di Eropa seperti kerajaan Austria-Hongaria, Turki dan Perancis, terpecah menjadi Negara-negara kecil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dari negara itu. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan rapuh. Di era yang serba modern ini, makna pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia sedikit dilupakan oleh sebagian rakyat Indonesia dan digantikan oleh perkembangan tekhnologi yang sangat canggih. Padahal sejarah perumusan Pancasila melalui proses yang sangat panjang dan rumit.
Unsur deklaratif adalah sifat yang ditunjukkan oleh adanya tujuan negara, undang-undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara de facto maupun de jure serta masuknya negara dalam org anisasi dunia seperti PBB. A) Rakyat Rakyat adalah semua orang yang berdiam di dalam suatu negara atau menjadi penghuni negara. Rakyat suatu negara dikelompokkan menjadi penduduk dan bukan penduduk serta warga negara dan bukan warga negara.
Perbedaan antara penduduk dan bukan penduduk menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban tertentu. Hanya yang berstatus penduduk yang dapat melakukan pekerjaan di suatu negara yang ditempatinya.
B) Wilayah Pembatasan wilayah suatu negara sangat penting sekali karena menyangkut pelaksa naan k edaulatan suatu negara dalam suatu bentuk. Seperti hal-hal berikut: c) Pemerintah yang berdaulat Pemerintah yang berdaulat merupakan syarat berdirinya suatu negara. Tanpa adanya pemerintah yang berdaulat tidak mungkin ada suatu negara meskipun unsur yang lainnya ada.
Hak menentukan nasib sendiri (: right to self-determination) adalah hak setiap orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang, serta. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya dalam membuat pilihan. Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik.
Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan. Protes terhadap perlakuan pemerintah Suharto terhadap Timor Timur, 1986 Istilah right to self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum pada tahun 1999 dan perundingan yang kemudian melahirkan. Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang pasca. Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan berbeda, yakni (dari 1903 sampai 1917) dan presiden (pada 1918). Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri, namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa, dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di dan, dengan di.
Berkembangnya negara-negara moderen di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik. Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh League of Nations ( – LBB) untuk memeriksa kasus, wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang, dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara yang baru merdeka dari pada Desember 1917.
Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik moderen, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB. Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nations). Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”. Daftar isi. Varian interpretasi Di dalam konteks masyarakat internasional yang semakin berkembang, beberapa masalah timbul dari prinsip menentukan nasib sendiri. Salah satu manifestasi menentukan nasib sendiri yakni menentukan nasib sendiri nasional, yang merupakan solusi terkait masalah teritorial yang kronis dalam, namun di lain pihak merupakan sumber ancaman bagi stabilitas teritorial.
Mendekati abad ke-20, prinsip ini dapat berarti:. hak orang-orang dalam wilayah perbatasan tertentu untuk memilih bentuk pemerintahan mereka sendiri, atau mendapatkan kemerdekaan mereka dari tangan. hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
hak sebuah unit politik di dalam suatu sistem federal seperti, atau untuk melepaskan diri dari federasi dan menjadi negara independen yang berdaulat. Demikian lebarnya pandangan-pandangan berlainan terkait situasi dalam suatu negara menyebabkan sulitnya menemukan definisi yang pasti mengenai hak menentukan nasib sendiri agar bisa digunakan sebagai alat hukum untuk menyelesaikan perselisihan. Kebingungan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri, yakni bersumber dari kegagalan mendefinisikan pihak yang berhak membuat klaim yang dimaksud dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional- orang perseorangan, kelompok, atau bangsa- dan seperti apa hak tersebut diberikan.
Presiden Woodrow Wilson merupakan negarawan yang teridentifikasi paling dekat dengan prinsip menentukan nasib sendiri. Ia mempertimbangkan penerapan beberapa prinsip untuk mengakhiri perang dan mendasari era baru perdamaian dan keadilan. Namun, istilah/prinsip menentukan nasib sendiri itu tidak muncul dalam ‘ Fourteen Points’ (14 pokok) yang dikemukakannya mengenai hak minoritas di dalam negara yang lebih besar, dan ia juga tidak pernah menyebutkan pendirian negara baru yang independen. Prinsip menentukan nasib sendiri kemudian terdapat pula dalam dan. Menentukan nasib sendiri menjadi resmi secara hukum setelah tahun 1945, ketika prinsip ini dimuat dalam, meskipun prinsip ini diterapkan untuk negara yang sudah ada, dan bukan untuk kelompok orang atau kelompok bangsa. Prinsip menentukan nasib sendiri dalam piagam PBB berada dalam konteks pengembangan hubungan persahabatan antar negara-negara dan yang bersinggungan dengan prinsip persamaan hak.
Konteks ini jelas berada di luar konteks negara, termasuk di dalamnya wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, sehingga orang/pihak yang dimaksud dalam konteks tersebut tentu belum mencapai pengertian apa yang disebut saat ini dengan atau daerah yang berpemerintahan sendiri. Meski demikian, menentukan nasib sendiri secara cepat berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak, terutama setelah deklarasi tahun 1960, ketika istilah tersebut digunakan untuk menandakan.
Pada saat itu, penerapan menentukan nasib sendiri tetap pada wilayah, dan bukan pada kelompok orang. Dengan berlangsungnya proses dekolonialisasi, prinsip penentuan nasib sendiri yang definisinya dalam Piagam PBB bersifat samar-samar, semakin berkembang menjadi “hak” untuk menentukan nasib sendiri. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada dekade antara 1960 dan 1970 ketika sebagian besar negara jajahan meraih kemerdekaan. Periode sejarah menentukan nasib sendiri , seorang profesor dari sekolah hukum dan diplomasi Fletcher ( Fletcher School of Law and Diplomacy), menjelaskan tiga periode yang membentuk sejarah konsep menentukan nasib sendiri.
Periode pertama Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945., di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi pergerakan nasional pada abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di dan. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemecahan wilayah yang termasuk dalam dan. Kelompok-kelompok nasional yang lebih kecil di dalam kekaisaran berkehendak menarik diri dan membagi wilayah mereka. Menentukan nasib sendiri setelah terdisintegrasinya kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-Hongaria, dengan demikian, mengambil bentuk berupa pembagian/pemisahan diri daripada penggabungan teritorial. Konferensi perdamaian. 'Empat Besar' ( the Big Four) pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, dari Inggris, Vittorio Emanuele Orlando dari, dari, Woodrow Wilson dari Amerika Serikat) Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.
Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri. Namun pada Konferensi Perdamaian Paris ( Paris Peace Conference) pada tahun 1919, ( colonial powers) terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang. Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik.
Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip (khusus) yang dapat diberikan hanya kepada negara-negara yang terkait dengan berakhirnya perang. Dengan demikian, pihak yang dapat menjalankan menentukan nasib sendiri ialah kelompok etnis yang dimobilisasi secara nasional selama abad ke-19 di bawah kekaisaran Austro-Hongaria, kekaisaran Ottoman, dan kekaisaran Rusia.
Dengan cepat, menentukan nasib sendiri bergulir menjadi isu. Pemahaman kedaulatan menjadi berakar pada ide bangsa, dan bangsa secara spesifik terdefinisi menjadi istilah nasional-etnis ( ethno-national). Selama konferensi perdamaian tersebut diketahui mustahil untuk menetapkan batas negara dari negara-negara yang baru terbentuk pascapemecahan area-area dalam kekaisaran tersebut.
We recommend the 32-bit version, which runs great on both 32- and 64-bit versions of Windows. Microsoft office visio 2010 download free. This product includes both 32- and 64-bit versions for a single computer. Some features may require additional or advanced hardware or server connectivity; www.office.com/products.
Konstitusi negara-negara baru yang berada di wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh kekaisaran Eropa dinyatakan dalam basis persamaan, dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi beberapa bulan setelah pembentukan negara secara resmi, otoritas domestik meletakkan prioritas kelompok-kelompok populasi berdasarkan identifikasi etnis masing-masing. Praktik-praktik diskriminasi seperti itu seringkali dibenarkan secara domestik atas nama menentukan nasib sendiri dan toleransi internasional, disebabkan karena formulasi yang ambigu dari prinsip hak minoritas.
Praktik diskriminasi. 'Jaga/Lindungi Yugoslavia' ( Čuvajte Jugoslaviju), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang menarikan tarian bernama. (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh (aliansi informal) beberapa bulan kemudian dengan penandatanganan. Serupa dengan perjanjian lain yang mengakui negara-negara baru antara tahun 1919 dan 1923, dokumen dalam perjanjian Saint-Germain secara simultan mengatur perlakuan terhadap minoritas di dalam Kerajaan. Penandatanganan perjanjian sebagai persyaratan pengakuan internasional terhadap Kerajaan bersifat kondisional, yakni apabila otoritas nasional kerajaan dapat menjamin bahwa persamaan individu dalam pemerintahan, dan pengakuan kelompok etnis yang berbeda dapat dihormati.
Namun demikian, sementara delegasi nasional mendeklarasikan bahwa kerajaan tersebut seperti halnya terdiri dari satu orang, namun dengan tiga nama-, dan - sensus terakhir yang dilakukan pada tahun 1910 mengindikasikan bahwa di daerah yang termasuk wilayah negara baru tersebut, sekurangnya terdapat sembilan kelompok etnis berbeda yang hidup berdampingan disana. Setelah perpanjangan diskusi dalam konferensi perdamaian tersebut, pada akhirnya diputuskan bahwa empat minoritas diakui secara internasional, yaitu: orang-orang, orang-orang, orang-orang, dan “orang-orang,” meski tetap tidak ada kejelasan mengenai bagaimana hasil seleksi itu dibuat. Hasil langsung pengakuan politik yang tidak seimbang itu berdampak pada sering dikecualikannya pihak minoritas yang tidak diakui secara internasional, dari keikutsertaan penuh mereka dalam komunitas politik nasional. Konferensi Perdamaian Paris hanya menciptakan lebih banyak subkelompok yang tidak diberikan negara mereka sendiri, dan secara formal hanya diberikan jaminan untuk menjaga budaya mereka. Pemenang Perang Dunia I mensyaratkan negara-negara baru di Eropa Tengah dan Eropa Timur menerima kondisi tersebut agar dapat diakui, tetapi menolak untuk menerima kewajiban tersebut untuk diri mereka sendiri.
Terobsesi oleh ide keseragaman nasional, negara-negara yang terbentuk setelah pemecahan kekaisaran itu mendirikan administrasi pemerintahan terpusat, dan melakukan atau penghilangan hak kebangsaan terhadap orang-orang. Selain itu, sebagaimana sejumlah diterima oleh sejak tahun 1920an, praktik denasionalisasi tersebut seringkali disertai dengan penggunaan oleh dan sebagai bentuk. Praktik-praktik diskriminasi telah dijadikan instrumen oleh pihak otoritas negara, dengan mengatasnamakan menentukan nasib sendiri dan hak minoritas.
Periode ke-dua. Sisa-sisa korban orang Yahudi setelah dieksekusi peluru oleh Nazi Jerman di dekat Zolochiv, barat Periode ke-dua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya United Nation – UN ( – PBB) pada tahun 1945.
Menentukan nasib sendiri, seperti yang didefinisikan dalam, yang muncul dari ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I sebelumnya. Penerapan menentukan nasib sendiri yang dilakukan secara sistematik justru berakibat pada bencana yang terjadi secara tidak parallel. Para penganut dan telah menggunakan konsep menentukan nasib sendiri untuk menghilangkan kelompok minoritas dan merasionalkan. Semakin meluasnya pandangan mengenai menentukan nasib sendiri muncul setelah beberapa dekade akibat sejumlah alasan tertentu, antara lain:.
adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka. pertempuran yang mengekspos klaim barat dalam membela kebebasan, namun pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
bahaya dan kepentingan yang saling menguntungkan di antara negara- dalam menopang supremasi mereka, menempatkan sebuah batas ketat pada derajat masing-masing negara untuk meraih apa yang disebut sebagai prinsip ‘menentukan nasib sendiri’. kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan yang mendapat perhatian luas internasional. Pada tahun 1945, blok sekutu mengakui adanya dua kelemahan utama dalam konsep menentukan nasib sendiri dari yang diformulasikan setelah Perang Dunia I. Kelemahan pertama ialah norma etnis yang melekat pada konsep menentukan nasib sendiri, dan definisi orang-orang, yang dapat digunakan untuk mendukung praktik-praktik yang tidak boleh dilakukan. Kelemahan kedua ialah kurang terformulasikan dengan jelasnya konsep menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I, sehingga menyebabkan digunakannya konsep tersebut sebagai instrumentalisasi berbahaya dan menciptakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya secara internasional. Di tahun 1945, menghadapi tanggung jawab melakukan rekonstruksi pascaperang. Di antara tugas mereka ialah mengutuk dan memberikan penghukuman atas kejahatan sistematik terhadap populasi domestik yang dilakukan atas nama prinsip yang diakui secara internasional, menentukan nasib sendiri.
Di dalam konteks yang tengah dihadapi oleh blok sekutu pada saat itu, satu hal yang jelas bagi mereka ialah peninjauan dan formulasi ulang yang harus dilakukan terhadap prinsip menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu, prinsip tersebut kemudian diformalkan dalam melalui inklusinya di dalam. Piagam PBB. Lambang yang ditampilkan di halaman depan Piagam PBB, 26 Juni 1945, yang kemudian diadopsi menjadi bendera PBB Menentukan nasib sendiri di dalam PBB menempati posisi yang lebih penting dibandingkan di dalam organisasi pendahulunya, LBB, karena menentukan nasib sendiri secara jelas tertera dalam artikel Piagam PBB.
Perjanjian LBB tidak menyebut secara langsung prinsip menentukan nasib sendiri (tidak menggunakan kata/istilah tersebut) di dalam sistem mandat yang didirikannya, dan identifikasi mandat dan implementasi sistem sepenuhnya bergantung pada politik, bukan pada hukum. Tidak seperti dalam perjanjian LBB, Piagam PBB menyebut menentukan nasib sendiri sebanyak dua kali.
Tahun kemerdekaan negara-negara Afrika umum yang menimbulkan opini publik internasional sedemikian halnya sehingga menandakan tahun 1960 sebagai “tahun Afrika,” tidak terjadi dengan cara yang sama di antara beberapa negara yang baru terbentuk. Ketika negara bekas jajahan menarik batas komunitas politik mereka, diskriminasi seringkali masih berlaku dengan suatu pengecualian kecil, pemimpin dari negara yang baru diproklamirkan menetapkan praktik diskriminasi formal dan informal, dan sering melibatkan ikatan kekerabatan yang dekat dengan mereka untuk menyokong kelompok domestik tertentu atas kelompok lainnya. Perangkat nilai yang mengatur orde internasional dalam negara yang baru dibentuk, secara sederhana tidak tecermin dalam wilayah negara baru tersebut. Hal itu dapat dipahami karena negara-negara baru tersebut tidak mempunyai pengalaman dengan struktur negara dan pengakuan. Negara-negara baru tersebut kesemuanya terbentuk mengikuti prinsip arbitrase, bahwa status negara merdeka diberikan dengan syarat mengikuti panduan formal dari negara-negara kolonial/penjajah mereka.
Meski demikian, penjelasan yang menekankan persistensi norma kolonial di dalam negara yang baru terbentuk, tidak mendapatkan banyak popularitas. Sebagai gantinya, sebagian besar ahli berpendapat bahwa diskriminasi terjadi karena penerapan menentukan nasib sendiri berakibat pada kemerdekaan yang prematur, atau pada suatu politik. Menentukan nasib sendiri merupakan prinsip yang menyebabkan berakhirnya sejumlah kekaisaran, yang pertama terjadi di Eropa, dan kemudian di wilayah kolonial, selanjutnya pada konstitusi kemerdekaan di berbagai negara. Untuk beberapa kasus, karena adanya norma tidak campur tangan ( non-interference) selama perang dingin, bila kekerasan terjadi setelah kemerdekaan, hal tersebut secara fundamental menjadi masalah domestik.
Prinsip menentukan nasib sendiri, meski demikian, terdapat pula dalam artikel pertama perjanjian PBB mengenai Hak Sipil dan Hak Politik tahun 1966- walaupun dokumen tersebut telah dinegosiasi di sepanjang tahun 1950an, dan sekali lagi definisi menentukan nasib sendiri tidak sepenuhnya tepat. Periode ke-tiga Periode ke-tiga perkembangan prinsip menentukan nasib sendiri dimulai dengan berakhirnya masa dekolonialisasi di akhir tahun 1970an, dan berlanjut hingga ke masa sekarang. Tahap ini ditandai dengan percobaan dalam beberapa dekade terakhir untuk menggabungkan dua periode menentukan nasib sendiri sebelumnya, yaitu hak etnis dan budaya minoritas, seperti yang dicetuskan presiden Woodrow Wilson, dengan absolutisme teritorial dekolonialisasi. Periode ketiga ini menghasilkan kecenderungan untuk mendefinisikan ulang gagasan menentukan nasib sendiri yang berarti setiap etnis atau kelompok nasional berbeda mempunyai hak untuk merdeka. Meskipun gagasan menentukan nasib sendiri dalam pengertian populer telah diartikan sedemikian, pengertian tersebut tidak diterima oleh negara manapun, ataupun oleh hukum internasional.
Selanjutnya prinsip menentukan nasib sendiri disebut dalam 1975 Helsinki Final Act (undang-undang akhir Helsinki), yang memberikan asal-mula pada konferensi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa ( Conference for Security and Cooperation in Europe). Namun, berpendapat bahwa suatu hal yang meragukan, apakah pernyataan prinsip yang dimaksud akan diambil secara harfiah, sebab potensi revolusioner prinsip yang dihasilkan dari konferensi tersebut menekankan pada integritas teritorial. Pada periode ke-tiga ini telah terdapat gerakan untuk mengombinasikan gagasan hak minoritas dan dekolonialisasi, yang mendukung pendefinisian menentukan nasib sendiri sebagai hak untuk setiap kelompok etnis. Sisi menarik dari nilai juga mendorong kesadaran diri masyarakat etnis, dan pada beberapa kasus menyebabkan gerakan pemisahan diri. Oleh sebab itu, memiliki peran yang besar pula dalam penyebaran gagasan menentukan nasib sendiri seperti yang diartikan dalam periode ke-tiga ini., dan semakin meningkat penggunaannya sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi serta bentuk kerugian lain yang dialami, dan utamanya lebih terlihat di beberapa negara dunia ketiga yang tengah menghadapi perkembangan ekonomi yang cepat, serta, seiring dengan merosotnya. Di negara-, kelompok-kelompok marjinal mencari sumber identitas dan loyalitas baru di luar negara yang mengabaikan mereka.
Alternatif sumber identitas seperti etnisitas dan agama, dan penggunaannya sebagai instrumen politik, oleh sebab itu, menjadi semakin meningkat. Pemisahan Yugoslavia Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas kepada dunia internasional. Menentukan nasib sendiri pada kasus pemisahan Yugoslavia diformulasikan untuk mengesahkan negara-negara baru, dan juga untuk menjustifikasi praktik pembersihan etnis secara fisik dan administratif.
Meskipun PBB telah mendorong pemerintahan ideal yang tidak bergantung pada etnis setelah Perang Dunia II, etnisitas sebagai kategori identifikasi tidak pernah benar-benar hilang dari. Menentukan nasib sendiri mengandung konflik antara dua komponen di dalamnya yang saling bersaing. Setelah hampir setengah abad, pada kenyataannya, etnisitas tetap menjadi permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan politik nasional. Setelah berakhirnya perang dingin, bentuk disintegrasi merupakan hasil yang diambil untuk kasus menentukan nasib sendiri antara Uni Soviet dan Yugoslavia. Dengan kematian pada tahun 1980 dan diikuti dengan krisis yang berakhir dengan pemecahan Yugoslavia, dunia menemukan keberlanjutan klaim menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas. Di samping itu, klaim tersebut juga dibuat secara tepat di area dimana pada tahun 1919, para penggagas Konferensi Perdamaian Paris mencoba memberikan jaminan pada proses transisi dari kekaisaran menuju negara-bangsa.
Perbedaannya ialah, ketika pada tahun 1990an para pemimpin yang baru memproklamirkan diri menyampaikan klaim menurut perspektif mereka sendiri, sedangkan pada tahun 1919 klaim yang dibuat tidak ditoleransi secara internasional. Dengan kata lain, upaya mengonstitusikan negara-etnis bangsa diterima sebagai suatu penyimpangan dari ide liberal mengenai hak asasi manusia dan status negara yang sah.
Map etnik Yugoslavia berdasarkan data sensus 1991 Pada tahun 1991, lebih dari satu tahun setelah Kroasia dan Slovenia menunjukkan tanda-tanda awal mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan dari Serbia, Council of Ministers of the European Community – EC (dewan menteri komunitas Eropa) membentuk komisi arbitrase khusus, yang dikenal dengan nama. Pada September 1991, dimulai Konferensi Internasional mengenai Yugoslavia yang dipimpin oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris. Konferensi ini terdiri dari para mediator dewan komunitas Eropa dan perwakilan pihak-pihak yang terlibat, yakni delegasi Yugoslavia dan perwakilan masing-masing republik konstituen. Beberapa bulan kemudian, Komite konferensi tersebut mengikuti prinsip uti possidetis mengakui batas antara Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Dengan menerapkan prinsip kolonial pengakuan batas kepada orang-orang Balkan, Konferensi mengakui batas internal yang diakui sebelumnya, sebagai perbatasan internasional yang baru. Dalam melakukan hal tersebut, Konferensi mengakui kemungkinan adanya kebetulan ( coincidence) di antara batas-batas negara-negara baru tersebut dengan klaim bangsa etnis.
Maka sejak tahun 1990an, pemimpin yang baru memproklamirkan diri menemukan di dalam pengakuan internasional, adanya justifikasi tidak langsung untuk membentuk negara berdasar pada etnis. Kebingungan yang meliputi respon terhadap klaim menentukan nasib sendiri etnis menjadi semakin menonjol. Intervensi terakhir yang terjadi di, bersamaan dengan pendirian daerah perlindungan internasional, stigmatisasi Serbia, dan indulgensi internasional terhadap Kroasia, diikuti dengan kejadian panjang di Kosovo, mengendapkan hal yang diistilahkan sebagai krisis menentukan nasib sendiri internasional. Dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada tahun 1991, pangeran mengutarakan niatnya untuk mengejar arahan baru untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang ia terangkan ialah untuk menciptakan kerangka hukum baru dengan tujuan memberikan administrasi sendiri yang lebih besar kepada komunitas lokal. Ia berharap agar dalil menentukan nasib sendiri menjadi berkurang, kaitannya dengan batas nasional. Beberapa pihak melihat manfaat proposal dari pangeran itu berpotensi menegaskan hak menentukan nasib sendiri secara simbolik, dan pada saat yang sama membatasi potensi yang dapat membuat sistem internasional menjadi tidak stabil.
Dalam hukum internasional Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum hak asasi manusia, yang disebutkan dalam gagasan memberikan kepada setiap individu kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka. Bagian lainnya, yaitu bagian yang lebih mengundang perdebatan, melibatkan kelompok yang membuat klaim untuk mendirikan negara independen yang berkedaulatan. Atau dalam gagasan moderen mengenai hak menentukan nasib sendiri diusulkan adanya spektrum atau rentang dimana hak tersebut dapat diterapkan, yang dapat dibedakan menjadi menentukan nasib sendiri internal dan eksternal. Menentukan nasib sendiri internal mengacu pada variasi hak politik dan sosial, dan menentukan nasib sendiri eksternal mengacu pada kemerdekaan hukum penuh atau pemisahan diri untuk segolongan orang dari segi politik-hukum ( politico-legal) yang lebih besar, misalnya negara. Namun demikian, klaim mendirikan negara dengan dalil menentukan nasib sendiri seperti yang diakui di era 1960an, ditafsirkan sebagai hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah kolonial untuk merdeka, atau menggunakan status lain yang mereka pilih atau inginkan.
Etnis atau kelompok yang berbeda di dalam koloni tidak mempunyai hak untuk memisahkan diri dari orang-orang di wilayah yang sama dengan mereka secara keseluruhan. Hak untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari hak untuk melepaskan diri dan membentuk negara merdeka, sebagaimana tidak ada hak untuk membentuk negara baru yang tercantum di dalam hukum internasional. Ditunjukkan dalam peta Kanada dengan warna biru Beberapa ahli menilai bahwa semua klaim separatis terikat pada wilayah, dan berakar dari sejarah keluhan mereka, sehingga penyelesaian apapun memerlukan pemecahan terkait kebutuhan wilayah. Hanya beralasan pada sekumpulan orang-orang yang berbeda, tidak cukup kuat membuat kelompok orang mengklaim menentukan nasib sendiri, menurut pandangan. Norma hukum internasional, oleh sebab itu, tidak berakar dari klaim teritorial, tetapi pada kelompok yang dirugikan, apakah berasal dari orang-orang yang berbeda. Karena kehendak menentukan nasib sendiri suatu kelompok berakar dari berbagai sumber pemicu, termasuk penyangkalan hak minoritas, perdebatan wilayah, aspirasi kelompok, dan kelangsungan hidup secara politik dan ekonomi, maka mendorong demokrasi, menghormati hak asasi manusia, serta memberikan otonomi lokal, kemungkinan merupakan jawaban untuk dilema yang ditimbulkan oleh prinsip menentukan nasib sendiri. Namun pendekatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan menentukan nasib sendiri yang melewati kapasitas, sebab perjuangan menentukan nasib sendiri yang seperti itu dapat berujung pada permintaan pemisahan diri/aksi separatis bahkan di dalam sistem demokrasi yang sudah maju seperti contohnya separatis Quebecois dan Gerakan Nasional Rakyat ( Scottish National Movement).
Dalam tinjauan HAM Menentukan nasib sendiri telah dipandang dalam tinjauan hak asasi manusia (HAM), yang membutuhkan pengakuan bahwa hak tersebut dibatasi oleh keperluan melindungi hak orang lain dan komunitas umum, sebagaimana halnya dengan hak asasi manusia lainnya. Hak untuk mempunyai pemerintahan sendiri juga semakin terjalin dengan norma hak asasi manusia, terutama terjadi di dalam kelompok minoritas dan warga asli yang mendiami suatu wilayah. Sebuah rumah yang dibakar di desa Rohingya di bagian utara akibat adanya konflik sektarian pada Agustus 2017 Penerimaan menentukan nasib sendiri yang terlalu bermurah hati dapat berakibat pada fragmentasi dan meningkatnya intoleransi karena tidak diperlukan lagi adanya hidup berdampingan dengan damai. Sementara itu, tantangan utama pendefinisian menentukan nasib sendiri dengan mengeluarkan pemisahan diri dari dalam definisi, dapat digambarkan dengan situasi di yang diatur oleh kekuatan/pihak berwenang PBB sejak berakhirnya kampanye pengeboman oleh pada tahun 1999 sampai deklarasi kemerdekaan Kosovo pada Februari 2008. Kemerdekaan Kosovo diakui oleh hampir seratus negara hingga pertengahan tahun 2010, namun tidak oleh Serbia yang menetapkan Kosovo tetap merupakan bagian integral Serbia.
Sebagian karena alasan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Kosovo antara tahun 1989 dan 1999 dan selama kampanye NATO, para pengamat Barat memberikan simpati terhadap klaim kemerdekaan yang dibuat Kosovo. Misalnya 22 negara anggota, Amerika Serikat, dan Kanada di antara negara-negara lainnya mengakui kemerdekaan negara baru tersebut. Namun demikian, tidak ada yang menghubungkan keinginan pemisahan diri Kosovo secara spesifik dengan tingginya tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disana, dan deklarasi kemerdekaan Kosovo itu sendiri teramati sebagai kasus khusus dari pemisahan non-konsensual Yugoslavia yang tidak dapat dijadikan pedoman untuk situasi lainnya. Kelompok tersebut berbagi, serta karakteristik yang sama lainnya, namun hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional, sebagaimana bertentangan dengan beberapa keterangan dan anjuran yang bersifat tidak mengikat, tidak memberikan hak khusus kepada kelompok-kelompok demikian yang terjadi di Kosovo.
Di masa sekarang, keadaan yang kurang lebih serupa terjadi pada warga di. Selain anggapan bahwa warga Rohingya adalah pendatang di Myanmar, faktor yang menimbulkan konflik berkepanjangan ialah penghapusan Rohingya dari konstitusi ( Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008). Secara resmi otoritas Myanmar hanya mengakui 135 kelompok etnis berbeda, yang dikelompokan dalam delapan ras etnis nasional utama, yaitu, dan. Dewan HAM PBB yang telah menyetujui resolusi untuk meluncurkan penyelidikan terhadap pemerintah Myanmar yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM dan pembersihan terhadap etnis Rohingya mendapat kecaman dan penolakan dari otoritas Myanmar yang menilai bahwa pembentukan misi pencari fakta internasional, bukan menyelesaikan masalah, namun justru akan semakin membakar konflik. Tantangan secara politik, teknis, dan proses yang ditunjukkan dalam situasi tersebut merupakan cerminan relatif sulit dipenuhinya pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri. Terlepas dari problematika yang melingkupinya, klaim atas hak menentukan nasib sendiri tidak menjadi berkurang, dan diperlukan pengembangan yang lebih baik oleh komunitas internasional dalam menghadapi permintaan tersebut agar dapat menghindari tindakan kekerasan dan konflik yang merusak. Sampai definisi hak ini menjadi jelas, hak menentukan nasib sendiri tetap menjadi alat retorika yang dipergunakan kelompok-kelompok di dalam negara yang menginginkan kemerdekaan, otonomi, atau menginginkan kendali atas permasalahan yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan mereka.
Lihat pula. Referensi. Www.unpo.org (dalam bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2017-12-06. Diakses tanggal 2017-12-06.
^ Media, Kompas Cyber. Diakses tanggal 2017-12-10.
^. Lenin, V.I. Diakses tanggal 2017-12-07. Diakses tanggal 2017-12-06. ^ (dalam bahasa Inggris). ^ corissajoy (2016-07-13). Beyond Intractability (dalam bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2017-12-06. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. Diakses tanggal 2017-12-06. Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27. E-International Relations (dalam bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2017-12-06. Manela, Erez. The Wilsonian Moment: Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007. Djokic, Dejan.
Pasic & Trumbic: The Kingdom of Serbs, Croats and Slovenes. London: Haus, 2010. Claude, Inis. National Minorities an International Problem. Cambridge: Harvard University Press, 1955. Mazower, Mark. Dark Continent: Europe’s Twentieth Century.
New York: A.A. Knopf: Distributed by Random House, 1999. ^. Quincy Wright, Mandates under the League of Nations (Chicago: Univ. Of Chicago Press, 1930); R.N. Chowdhuri, International Mandates and Trusteeship Systems: A Comparative Study (The Hague: Martinus Nijhoff, 1955).
Russell & Muther, A History of the United Nations Charter 810-811 (1958). 343, I/1/16, 6 U.N. Wright, International Law and the United Nations 49 (1960). Lachs, The Law in and of the United Nations, 1 Indian J. 429, 432 (1961).
Reus-Smit, Christian. Individual Rights and the Making of the International System, Cambridge: Cambridge University Press 2013. Mazrui, Ali A. Africa’s International Relations: The Diplomacy of Dependence and Change.
London u.a.: Heinemann u.a., 1977. Glanville, Luke. Sovereignty and the Responsibility to Protect: A New History, 2014. Nowak, Manfred. UN Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary.
Kehl u.a.: Engel, 1993. Stiks, Igor. “A Laboratory of Citizenship: Nations and Citizenship in the Former Yugoslavia and Its Successor States.” 2009. Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002). ^ Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience.
In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002), 42-3. Mamlyuk, Boris (2010-04-04). LII / Legal Information Institute (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-06. Lea Brilmayer, 'Secession and Self-Determination: A Territorial Interpretation,' Yale Journal of International Law 16 (1991): 177-202. Robert McCorquodale, 'Self-Determination: A Human Rights Approach,' International and Comparative Law Quarterly 43 (1994): 857-885.
^ Patricia Carley, Self-Determination: Sovereignty, Territorial Integrity, and the Right to Secession (Washington DC: United States Institute of Peace Press, 1996).